Kisah Mengharukan Siswi SD di Indonesia harus bekerja membuat Kain Tenun untuk membiayai Sekolahnya

Sakinah namanya, kelas 6 SD, tinggal di Kampung Suruang, Kec. Campalagian, Kab. Polman, Sulawesi Barat. Sulung dari dua bersaudara ini masih dalam seragam sekolahnya ketika saya menjumpainya sedang membenahi benang-benang sutera yang akan ditenun menjadi sarung sutera mandar. Saya takjub, anak seusia dia sudah demikian mahir menenun. Lihatlah betapa tangannya yang mungil itu lincah menyusupkan benang lalu menghentak-hentakkan bilah papan penguat. Atau apakah anak seusia dia di Mandar hal itu sudah lumrah? Entahlah. Belum sempat saya mencari tahu tentang itu. Apapun, yang pasti segera melintas rasa girang bahwa warisan budaya Tanah Mandar itu insya Allah tidak akan punah. Mudah-mudahan saya salah, bahwa tadinya ada semacam rasa cemas sarung sutera kebanggaan orang Mandar dan dengan sendirinya menjadi kekayaan budaya bangsa itu sebentar lagi bakal tinggal sejarah karena agaknya tak ada upaya yang cukup dari pihak-pihak yang berkompeten untuk mengembalikan muruah sarung itu seperti masa-masa lampau. Dalam amatan subjektif dan sekilas saya, sarung ini gaungnya kini tak senyaring kain-kain tenun dari daerah lain pada level nasional bahkan regional Sulawesi Selatan dan Barat. Saya ingat cerita ibu, konon dulu bangsawan Minang tak merasa lengkap jika tak mempunyai sutera mandar. Masihkah sekarang? Sekali lagi, mudah-mudahan saya salah!
Di tengah kegiatan utamanya belajar, Sakinah dapat menyelesaikan selembar sarung paling cepat dalam dua minggu. Sarung-sarung yang ditenunnya adalah sarung pesanan. Upahnya tak tentu, waktunya juga tak tentu. Ini dilakukan bocah SD ini demi membiayai pendidikannya untuk mewujudkan mimpinya di negara Indonesia yang katanya sudah Merdeka, dan seharusnya Anak seperti ini sudah tidak bekerja dan hanya bermain dan belajar menikmati indahnya masa kecilnya.