Fenomena masalah anak jalanan merupakan isu global yang
telah mencapai titik mengkhawatirkan. Situasi anak jalan di Indonesia cukup
memprihatinkan karena sampai saat ini masalah-masalah anak khususnya pada
anak-anak yang berada di jalanan belum mendapat perhatian yang serius dari
pemerintah.
Fenomena merebaknya anak jalanan di
Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan
memang bukan merupakan pilihan
yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang
tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang
menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara.
Namun, perhatian terhadap nasibanak jalanan tampaknya belum begitu besar dan
solutif.
Mereka merupakan kelompok sosial yang sangat
rentan dari berbagai tindakan kekerasan baik fisik, emosi, seksual maupun
kekerasan sosial. selain itu, lingkungan juga sangat mempengaruhi kepribadian
dan perilaku sosial anak jalan. Menurut UUD 1945 “anak terlantar itu dipelihara
oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan
dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak
terlantar dan anak jalanan pada hakekatnya sama dengan hak asasi manusia pada
umumnya seperti halnya tercantum dalam UU no. 9 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia dan Keputusan Presiden RI no. 36 tahun 1990 tetang “konvensi tentang hak-hak anak”
Pengertian Dan Karakteristik Anak Jalanan
Pengertian Dan Karakteristik Anak Jalanan
Istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki ikatan dengan keluarga. Istilah anak jalanan berbeda-beda untuk setiap tempat, misalnya di Columbia mereka disebut “gamin” (urchin atau melarat) dan “chinces” (kutu kasur), “marginais” (criminal atau marjinal) di Rio, “pa’jaros frutero” (perampok kecil) di Peru, “polillas” (ngrengat) di Bolivia, “resistoleros” (perampok kecil) di Honduras, “Bui Doi” (anak dekil) di Vietnam, “saligoman” (anak menjijikkan) di Rwanda. Istilah-istilah itu sebenarnya menggambarkan bagaimana posisi anak-anak jalanan ini dalam masyarakat.
Pengertian anak jalanan telah banyak dikemukakan oleh banyak
ahli. Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya dijalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas
lain. Anak jalanan tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampakkan dari
keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya.
Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur
anak dan pengais sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas,
pemerasan, perkelahian, dan kekerasan lain. Anak jalanan lebih mudah tertular
kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan
penyalahgunaan obat.
Menurut Soedijar (1989) dalam studynya menyatakan bahwa anak
jalanan adalah anak usia antara 7 sampai 15 tahun yang bekerja di jalanan dan
tempet umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang
lain serta membahayakan dirinya sendiri.
Menurut Putranto dalam Agustin (2002) dalam studi kualitatifnya mendefinisikan
anak jalanan sebagai anak berusia 6 sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi dan
tidak tinggal bersama orang tua mereka, dan bekerja seharian untuk memperoleh
penghasilan di jalanan, persimpangan dan tempat-tempat umum.
Dalam buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001:20), anak jalanan adalah anak
yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran
di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa “anak
jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara fisik dan
phsykis) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang
terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya.”
Berdasarkan hasil kajian lapangan, secara garis besar anak
jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk.eds : 1997) :
- Children on the street
Yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai
pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan
orangtua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalankan pada kategori ini
adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban
atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak dapat diselesaikan sendiri
oleh kedua orang tuanya.
- Children of the street
Yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalankan, baik
secara social maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan
dengan orang tuanya, tetapi frekwensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak
diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab biasanya kekerasan
atau lari dari rumah.
- Children from family of the street
Yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup
dijalanan. Meski anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat,
tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lai dengan
segala resikonya (Blanc & Associate, 1990;Irwanto dkk,1995; Taylor &
Veale, 1996). Salah satu cirri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan
jalanan sejak masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia
kategori ini dengan mudah ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar
sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai walau secara kwantitatif
jumlahnya belum diketahui secara pasti.
Karakteristik
anak jalanan terbagi dua yaitu:
- Ciri fisik
- Warna kulit kusam
- Rambut kemerahan
- Kebanyakan berbadan kurus
- Pakaian tidak terurus
- Ciri psikis
- Mobilitas tinggi
- Acuh tak uacuh
- Penuh curiga
- Sangat sensistif berwatak keras
- Semangat hidup tinggi
- Berani tanggung resiko
- Mandiri
Kehadiran anak jalanan merupakan sesuatu yang sangat
dilematis. keberadaan anak jalanan tentunya mempunyai latar belakang dan
motivasi yang berbeda, salah satu motivasi mereka menjadi anak jalanan karena
tekanan social ekonomi orang tuanya yang tidak cukup untuk biaya hidup
sehari-hari, kemudian berangkat dari keinginan untuk membantu orang tua mereka,
maka mereka melakukan pekerjaan dengan kemampuan yang dimiliki, ada pula anak
jalanan yang melakukan pekerjaan tersebut demi mendapatkan uang untuk
biaya hidupnya.
Tiga
tingkatan penyebab keberadaan anak jalanan :
- Tingkat mikro (immediate cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya
- Tingkat messo (underlying causes), yaitu faktor yang ada di masyarakat
- Tingkat makro (basic cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro
Pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak
dan keluarga yang berkaitan tetapi juga bisa berdiri sendiri, yakni :
1. Lari dari keluarga, disuruh bekerja
baik karena masih sekolah atau sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau
diajak teman.
2. Sebab dari keluarga adalah
terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang
tua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan
keluarga/tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap
anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah
fisik, psikologis dan social.
Pada
tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi meliputi :
1. Pada masyarakat miskin, anak-anak
adalah asset untuk membantu peningkatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja
yang berakibat drop out dari sekolah.
2. Pada masyarakat lain, urbanisasi
menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti kebiasaan itu.
3. Penolakan masyarakat dan anggapan
anak jalanan sebagai calon criminal.
Pada
tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah :
1. Ekonomi adalah adanya peluang
pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan keahlian, mereka harus
lama dijalanan dan meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang
mendorong urbanisasi.
2. Pendidikan adalah biaya sekolah yang
tinggi, perilaku guru yang diskriminatif, dan ketentuan-ketentuan teksis yang
birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar.
3. Belum beragamnya unsur-unsur
pemerintahan yang memandang anak jalanan antara sebagai kelompok yang
memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan pendekatan yang menganggap
anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security
approach/pendekatan keamanan).
Perilaku anak jalanan selalu berada dalam situasi
rentan dalam segi perkembangan fisik, mental, sosial bahkan nyawa mereka.
melalui stimulasi tindakan kekerasan terus menerus, terbentuk sebuah
nilai-nilai baru yang cenderung mengedepankan kekerasan sebagai cara untuk
mempertahakan hidup. Ketika memasuki usia dewasa, kemungkinan mereka akan
menjdai salah satu pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak jalanan
lainnya. Disamping itu anak jalanan dengan keunikan kerangka budayanya,
memiliki tindak komunikasi yang berbeda dengan anak yang normal. komunikasi
intra budaya anak jalanan dapat menjelaskan tentang proses, pola, perilaku,
gaya, dan bahasa yang digunakan mereka. aspek-aspek tersbut tampak manakala
berkomunikasi sesama teman, keluarga, petugas keamanan dan ketertiban, pengurus
rumah singgah, dan lembaga pemerintah.
Anak jalanan yang sudah terbiasa dalam lingkungan rumah
singgah dan anak jalanan yang “liar”, memiliki perilaku yang berbeda dan
komunikasi yang berbeda. Perilaku komunikasi
interpersonal sendiri berlangsung dalam situasi; memaksa, otoritatif, konflik,
mengganggu (teasing), membiarkan (bebas), sukarela, dan
rayuan. Komunikasi interpersonal melalui pesan verbal dan nonverbal, secara
spesifik disesuaikan dengan kepentingan dalam menjalankan aktivitas di jalanan.
Pesan verbal mayoritas berupa istilah/kata; yang berhubungan dengan
kekerasan/konflik, panggilan khas (sebutan) kepada orang atau konteks jalanan,
aktivitas jalanan dan pekerjaan. Pesan nonverbal yang disampaikan
berbentuk: gestural, intonasi suara, mimik muka (facial),
artifaktual, isyarat bunyi, pakaian (fashion), panataan
pakaian/asesoris (grooming) dan penampilan (manner).
Anak jalanan memaknai peran diri dalam keluarga dan masyarakat, sebagai
inidividu yang mandiri (tanggung jawab pada diri dan keluarga), otonom
(berusaha melepasakan ketergantungan), dan individu yang berusaha
memiliki relasi sosial dalam konteks di jalanan.
Konstruksi makna peran diri itu sendiri dibangun
secara kreatif dan dinamis di dalam interaksi sosial anak dengan
orang-orang dalam lingkungan jalanan. Selanjutnya, hasil interaksi sosial
anak-anak dengan orang-orang dalam lingkungannya membentuk konstruksi
makna secara subyektif dan obyektif tentang orang dewasa, aturan dan
prinsip-prinsip yang berkembang dalam konteks jalanan.
Dengan demikian, perilaku social anak jalanan dengan
masyarakat tidak baik, karena perubahan sikap, cara komunikasi yang
kasar, memaksa, brutal, tata cara bicara yang buruk, gaya bahasa, pakaian
yang tidak rapi, rambut yang di warnai membuat masyarakat tidak senang dengan
anak jalanan.
KESIMPULAN
Munculnya anak jalanan
disebabkan adanya beberapa faktor di antaranya kesulitan
ekonomi,ketidakharmonisan keluarga, suasana lingkungan yang kurang mendukung,
dan rayuan kenikmatan kebebasan mengatur hidup sendiri. Tindakan penanganan
permasalahan anak jalanan ini dapatdilakukan
melaui kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarakat.
Walaupun
pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negative, namun pada
dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang bekerja di jalanan yang
bukan hanya sekedar bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan
penghasilan, melainkan anak yang karena pekerjaanya maka mereka tidak
dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara jasmani, rohani dan
intelektualnya.
SARAN
Untuk menyelesaikan masalah anak jalanan, kita berharap bahwa Negara mempunyai
kewajiban untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. kemiskinan jangan dipakai
sebagai kambing hitam, tetapi kemiskinan structural, tindakan-tindakan Negara
yang harus melindungi mereka baik itu di jalanan, melindungi mereka dari
hak-hak mereka mendapat akses pendidikan dan sebagainya. Pemerintah harus ikut
mengurangi jumlah anak jalanan yang semakin meningkat, jika tidak ini akan
menjadi masalah dikemudian hari. Pemerintah bertanggung jawab dalam hal ini,
karena sudah tercantum dalam UUD 1945, UU 1999 serta dalam Keputusan Presiden
tahun 1990. Pemerintah harus dapat memberikan pendidikan yang layak agar dapat
mengubah pola piker mereka, dan memberikan mereka bekal seperti keahlian atau
kreativitas guna mengembangkan bakat mereka. Tetntu pemerintah tidak bisa
melakukan tugas ini sendirian, diperluakan dukungan dan kerjasama dari semua
kalangan, contohnya LSM dan masyarakat.
Berbagai pihak perlu melaksanakan program integrative yang
diarahkan tidak saja bagi anak jalanan, tetapi juga keluarga dan lingkungan
dimana mereka tinggal. Bagi anak jalanan mereka perlu dilibatkan dalam program
pendidikan khusus yang dapat membuka wawasan mereka mengenai masa depan. Bagi
keluarga terutama orang tua, perlu diberikan penyuluhan. yang dapat meluruskan
presepsi mereka mengenai kedudukan anak didalam lingkungan dan masyarakat.
SUMBER
·
ml.scribd.com › School Work › Essays
& Theses
·
id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan
0 Response to "ANAK JALANAN "
Post a Comment